Berita Permata.Com||Pekanbaru, Makan Bergizi Gratis (MBG). Namanya terdengar mulia, seakan negara sedang menyiapkan masa depan anak bangsa lewat gizi. Tapi sayangnya, di balik jargon manis itu, yang gratis bukanlah makanannya—melainkan akal bulus sebagian oknum yang menjadikannya proyek bancakan.
Puluhan siswa di berbagai daerah sudah jadi korban keracunan setelah menyantap menu MBG. Dari makanan basi, wadah makan abal-abal berlabel SNI palsu, sampai menu ultra-olahan penuh gula yang lebih cocok jadi cemilan murahan ketimbang santapan bergizi. Jika ini disebut program sehat, maka definisi sehat patut dipertanyakan.
Di dapur lain, mitra yang berkeringat menyiapkan puluhan ribu porsi justru dibiarkan tekor hampir satu miliar rupiah. Kontrak Rp15 ribu per porsi berubah sepihak jadi Rp12.500. Hak mereka dipotong, janji dibuang, sementara tagihan tetap datang. Negara yang katanya hadir, justru tampak absen di meja makan rakyatnya.
Lebih getir lagi, isu 5.000 dapur fiktif ikut menyeruak. Bayangkan, dapur yang tak pernah berdiri bisa masuk sistem, sementara dapur nyata yang sudah beroperasi justru megap-megap menanti bayaran. Jika ini bukan ladang korupsi, lalu apa namanya?
Anehnya, pemerintah selalu punya alasan. Ada yang menyebut “progres nol persen otomatis dikembalikan”, ada yang berdalih “verifikasi sudah ketat”. Namun fakta di lapangan berkata lain: anak-anak keracunan, mitra dapur rugi, uang miliaran raib entah ke mana.
Mari kita jujur: satu-satunya kekurangan jika dana MBG langsung diberikan ke orang tua murid hanyalah satu—tidak bisa dikorupsi. Maka jangan heran, program ini dipertahankan dengan segala retorika. Sebab tanpa celah proyek, tanpa dapur fiktif, tanpa food tray impor abal-abal, apa lagi yang tersisa untuk dibagi-bagi?
Jika negara benar-benar peduli gizi anak bangsa, hentikan drama pencitraan. Salurkan dana langsung ke keluarga. Biarkan orang tua yang menentukan menu terbaik untuk anaknya. Karena gizi sejati bukan berasal dari proyek, melainkan dari kasih sayang keluarga yang jujur.
Dan jika masih ada yang bertanya kenapa rakyat makin sinis, jawabannya sederhana: rakyat sudah kenyang—bukan oleh gizi, tapi oleh dusta.