Berita Permata.Com||Pekanbaru, ibu kota Provinsi Riau, memiliki perjalanan panjang dan menarik dalam pembentukannya, dari kawasan kecil di pinggir Sungai Siak sampai menjadi pusat ekonomi, pemerintahan, dan budaya. Berikut kilasan sejarahnya:
Awal Mula dan Asal Nama
Sebelum dikenal sebagai Pekanbaru, wilayah ini merupakan sebuah pemukiman kecil bernama Senapelan atau kadang disebut “dusun Payung Sekaki” yang berada di tepi Sungai Siak.
Waktu itu, Senapelan berada dalam pengaruh Kerajaan Siak Sri Indrapura dan dipimpin oleh kepala suku yang disebut Batin.
Seiring berjalannya waktu, kawasan Senapelan berkembang menjadi tempat perdagangan. Pada abad ke-18, pedagang Minangkabau memanfaatkan Sungai Siak sebagai jalur penghubung antara pedalaman dan pesisir, sehingga Senapelan menjadi pasar (pekan) penting di daerah tersebut.
Pada 23 Juni 1784 (21 Rajab 1204 H), melalui musyawarah para pemuka di Kesultanan Siak, nama Pekanbaru ditetapkan untuk daerah ini.
Kata “pekan” berarti pasar, dan “baru” berarti baru, makna yang menyiratkan perubahan fungsi kawasan menjadi pusat perdagangan baru.
Era Kolonial Belanda dan Perkembangan Ekonomi
Ketika pengaruh Belanda meningkat, pada abad ke-18 Kesultanan Siak mulai bekerja sama dan memiliki hubungan administratif dengan VOC (Perusahaan Hindia Belanda).
Dalam masa kolonial, peran Sultan di kawasan seperti Pekanbaru semakin melemah, dan fungsi pemerintahan praktis mulai diambil alih oleh otoritas kolonial melalui jabatan asisten-residen dan kontroler.
Pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, Pekanbaru berkembang sebagai pusat ekspor komoditas seperti kopi dan batu bara.
Dalam rangka mendukung ekspor tersebut, Belanda membangun jaringan jalan dan transportasi agar mempermudah pengangkutan barang ke pelabuhan dan jalur perdagangan ke Selat Malaka.
Masa Pendudukan Jepang & Rel “Pekanbaru Death Railway”
Pada Perang Dunia II, Jepang menduduki Sumatra sejak 1942 dan memanfaatkan tenaga paksa untuk membangun jalur kereta sepanjang ± 220 km yang menghubungkan Pekanbaru dengan Muaro Sijunjung.
Para pekerja adalah tahanan perang (POW) dan romusha dari Indonesia. Banyak yang meninggal akibat kondisi kerja berat, penyakit, dan kurangnya makanan.
Jalur kereta tersebut sebagian besar tidak pernah digunakan setelah kemerdekaan dan kini menjadi saksi bisu masa kelam tersebut.
Masa Kemerdekaan dan Penetapan Status Kota
Setelah Indonesia merdeka (tahun 1945), Pekanbaru mengalami sejumlah perubahan status administratif:
-Pada tahun 1956, Pekanbaru ditetapkan sebagai kota administratif atau Kota Kecil.
-Tahun 1959, lewat Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 52/I/44-25 tanggal 20 Januari, Pekanbaru resmi dinobatkan sebagai ibu kota Provinsi Riau, menggantikan status sementara Tanjungpinang.
-Seiring perkembangan, istilah Kotamadya berubah menjadi istilah Kota berdasarkan UU Pemerintahan Daerah tahun 1999.
Kawasan administrasi Pekanbaru juga mengalami pembesaran wilayah: dari hanya sekitar 16 km² pada awalnya, menjadi luas puluhan hingga ratusan kilometer persegi dengan penambahan kecamatan dan kelurahan seiring perkembangan kota.
Sebagai bagian dari Kesultanan Siak, pengaruh budaya Melayu-Islam sangat kuat di Pekanbaru. Nilai-nilai arsitektur, tradisi, dan seni Melayu dapat ditemui pada bangunan cagar budaya dan lanskap kota.
Beberapa situs bersejarah yang menjadi bagian dari identitas kultural kota antara lain istana Kesultanan Siak di kawasan Siak Sri Indrapura, peninggalan bangunan lama, dan objek-objek warisan Melayu-Islam lainnya.
Dalam dekade-dekade terakhir, Pekanbaru tumbuh sangat cepat sebagai pusat ekonomi, perdagangan, dan jasa. Urbanisasi, pembangunan infrastruktur, dan migrasi dari daerah-daerah tetangga turut mempercepat perubahan kota ini.
Namun, pesatnya pertumbuhan juga membawa tantangan seperti lalu-lintas, penyediaan layanan publik, dan konservasi warisan budaya agar tidak hilang di tengah modernitas.
Kota Pekanbaru adalah contoh evolusi kota yang bermula dari pemukiman kecil dan pasar di tepi sungai menjadi pusat pemerintahan dan ekonomi modern. Sejarahnya melibatkan pengaruh kerajaan, kolonialisme, penderitaan masa perang, dan transformasi dalam waktu yang relatif singkat.
Memahami akar sejarahnya penting agar masyarakat kota tetap menghargai warisan budaya dan menjadikan masa depan kota lebih seimbang antara kemajuan dan pelestarian.







