Pencatatan Kekayaan Intelektual, Kunci Agar Aset Budaya Tidak Tergerus Zaman

Berita Permata.com|| Di Era Digital yang serba cepat saat ini arus informasi rasanya seperti tidak dapat terbendung. Beragam hal baru kita terima setiap harinya yang sedikit banyak tentunya mempengaruhi keseharian kita. Di sisi lain, pergantian informasi dan kebiasaan lama dengan yang baru tersebut ternyata menjadi tantangan tersendiri.

Beberapa hal yang erat kaitannya dengan kebudayaan ternyata lambat laun mulai terserus zaman. Padahal kebudayaan tersebut merupakan identitas nasional sebagai cikal bakal masyarakat yang wajib diwariskan nilainya secara turun-temurun.

Pemerintah melalui Perpres no. 114 Tahun 2022 menerbitkan Strategi Kebudayaan diluncurkan pada 14 September 2022 sebagai pedoman bagi Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan Setiap Orang dalam melaksanakan Pemajuan Kebudayaan. Dokumen ini memuat visi Pemajuan Kebudayaan untuk 20 tahun kedepan.

Hematnya, ada 10 objek Pemajuan Kebudayaan dalam Strategi Kebudayaan ini (UU No. 5 tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan) : tradisi lisan, manuskrip, adat istiadat, ritus, pengetahuan tradisional, teknologi tradisional, seni, bahasa, permainan rakyat, dan olahraga tradisional. Kesepuluh objek tersebut merupakan aset berharga yang wajib untuk dikenal serta dipahami generasi penerus.

Faktanya dari data Kemendikbud di tahun 2022, ada 11 bahasa daerah yang punah dan ada 5 kesenian yang dikategorikan hampir punah. Miris memang, kepunahan tersebut diindikasi karena globalisasi yang tidak bisa dihindari.

Lantas, bagaimana kita bisa menyiasatinya? Bagaimana menyelamatkan kebudayaan agar tetap lestari sampai ke generasi mendatang?

Pencatatan Kekayaan Intelektual (KI) menjadi kunci dari perlindungan aset dan budaya. Bahasa, kesenian, dan kebudayaan merupakan produk dari hasil pemikiran manusia dan tergolong kepada produk KI.

Kekayaan Intelektual Komunal ini terdiri dari ekspresi budaya tradisonal, pengetahuan tradisional, sumber daya genetik, indikasi asal, serta potensi indikasi geografis yang perlu dilindungi (Peraturan pemerintah RI No. 56 Tahun 2022 tentang Kekayaan Intelektual Komunal). Secara umum, perlindungan hukum terhadap kekayaan intelektual komunal terdiri dari dua perlindungan: pertama, defensive protection sebagai bentuk pencegahan dari penggunaan kekayaan intelektual komunal dari pihak lain yang tidak memiliki izin dari pemilik kekayaan inteelktual komunal, dan kedua positive protection yang berfokus kepada pengimplementasian aturan hukum yang terkait dengan hak kekayaan intelektual komunal (suis generis law) (Ruhtiani, 2022 dan Putri, Putri, dan Rehulina, 2021).

Belum banyak masyarakat yang mengetahui bahwa pencatatan hak kekayaan intelektual agar dapat perlindungan hukum serta dapat diabadikan melalui manuskrip atau data tekstual, visual, dan audiovisual yang harus dilampirkan saat proses pendaftaran hak kekayaan intelektual.

Selain itu, perlindungan aset budaya dan pencatatan hak kekayaan intelektual ini bukan hanya bermanfaat bagi komunitas yang bersangkutan saja, namun juga bagi generasi muda Indonesia di masa depan.

Sejauh ini pemerintah melalui Kementrian Hukum dan Ham (Kemenkumham) pun berupaya menggencarkan sosialisasi dan advokasi agar awareness dan kesadaran masyarakat terhadap pentingnya pencatatan KI terus meningkat. Komitmen Kemenkumham tersebut juga didukung dengan menghadirkan Aplikasi Pusat Data Nasional. Kabar baiknya, dari seluruh Indonesia, Kemenkumham sudah menerbitkan 1.651 surat pencatatan kekayaan intelektual komunal (KIK).

Meski demikian masih masih banyak jenis KIK yang masih belum terdata. Hal ini menjadi pekerjaan rumah besar bagi Kemenkumham, Pemerintah dan masyarakat tentunya. Perlu diingat, boleh-boleh saja terus mengupdate diri dengan teknologi tercanggih, namun jangan sampai kita juga luput untuk mengenalkan dan mempraktekan budaya seni, bahasa tradisional, dsb kepada generasi muda.

Kini saatnya pemerintah, masyarakat, dan komunitas tradisional berkerja bersama untuk melakukan pencatatan, menginventaris, serta melindungi aset seni, budaya, serta bahasa tradisional di Indonesia.

Fajar B.S. Lase
Staf Khusus Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Bidang Transformasi Digital

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *