Berita Permata.Com||Jakarta, Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan bahwa larangan rangkap jabatan sebagaimana diatur dalam Pasal 23 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara juga berlaku bagi wakil menteri. Demikian petikan pertimbangan hukum Putusan Nomor 128/PUU-XXIII/2025 yang dibacakan dalam sidang pleno terbuka untuk umum di Ruang Sidang MK, Kamis (28/8/2025).
Perkara ini diajukan oleh Viktor Santoso Tandiasa dan Didi Supandi yang memohon agar ketentuan larangan rangkap jabatan tidak hanya diberlakukan kepada menteri, tetapi juga kepada wakil menteri. Para pemohon menilai pemerintah mengabaikan putusan-putusan MK sebelumnya karena tetap mengangkat wakil menteri menjadi komisaris di badan usaha milik negara (BUMN).
“Amar putusan, mengadili, mengabulkan permohonan Pemohon I untuk Sebagian,” kata Ketua MK Suhartoyo membacakan amar putusan.
Selengkapnya Amar Putusan Nomor 128/PUU-XXIII/2025 menyebutkan,
Mengadili:
- Mengabulkan permohonan Pemohon I untuk sebagian;
- Menyatakan Pasal 23 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 166, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4916) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “Menteri dan Wakil Menteri dilarang merangkap jabatan sebagai:
- Pejabat negara lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan;
- Komisaris atau direksi pada perusahaan negara atau perusahaan swasta; atau
- Pimpinan organisasi yang dibiayai dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan Belanja Daerah.”
- Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya;
- Menyatakan permohonan Pemohon II tidak dapat diterima;
- Menolak permohonan untuk selain dan selebihnya.
Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih dalam pertimbangan hukum MK menegaskan, Putusan MK Nomor 80/PUU-XVII/2019 telah dengan jelas menyatakan bahwa seluruh larangan rangkap jabatan yang berlaku bagi menteri juga berlaku bagi wakil menteri. Pertimbangan hukum tersebut, kata Enny, bersifat mengikat karena merupakan bagian dari putusan MK yang final dan tidak dapat dipisahkan dari amar putusan.
“Menurut Mahkamah, pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 80/PUU-XVII/2019 sesungguhnya telah secara jelas dan tegas menjawab bahwa seluruh larangan rangkap jabatan yang berlaku bagi menteri sebagaimana yang diatur dalam Pasal 23 UU 39/2008 berlaku pula bagi wakil menteri. Secara yuridis pertimbangan hukum dimaksud memiliki kekuatan hukum mengikat karena merupakan bagian dari putusan Mahkamah Konstitusi yang secara konstitusional bersifat final. Sebab, putusan Mahkamah tidak hanya berupa amar putusan, namun terdiri dari identitas putusan, duduk perkara, pertimbangan hukum, dan amar putusan bahkan berita acara persidangan yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Termasuk dalam hal ini, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 80/PUU-XVII/2019 yang menyatakan “permohonan para Pemohon tidak dapat diterima”, namun dalam bagian pertimbangan hukum Mahkamah yang merupakan ratio decidendi telah memuat judicial order yang menempatkan kedudukan wakil menteri sebagai pejabat negara yang sama dengan jabatan Menteri,” ujar Enny.
Dalam kaitan ini, sambung Enny, pertimbangan hukum dimaksud seharusnya ditindaklanjuti sejak pengucapan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 80/PUU-XVII/2019. Berkenaan dengan hal tersebut, larangan rangkap jabatan bagi wakil menteri didasarkan pada pertimbangan bahwa sebagai pejabat negara wakil menteri harus fokus pada beban kerja yang memerlukan penanganan secara khusus di kementerian. Dasar pertimbangan itu pulalah yang menjadi alasan kebutuhan pengangkatan wakil menteri pada kementerian tertentu, sehingga dengan sendirinya jabatan wakil menteri tidak diperbolehkan rangkap jabatan sebagaimana maksud norma Pasal 23 UU 39/2008. Hal demikian tidak berarti dengan sama-sama berstatus sebagai pejabat negara, menteri dan wakil menteri tidak perlu dikhawatirkan aken menimbulkan dualisme kepemimpinan di kementerian. Oleh karena itu, sebagaimana telah dipertimbangkan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 80/PUU-XVII/2019, sebagai konsekuensi kedudukan wakil menteri juga sebagai pejabat negara, fasilitas wakil menteri harus dipenuhi secara proporsional sesuai dengan jabatannya.
Berkenaan dengan larangan rangkap jabatan bagi wakil menteri, in casu sebagai komisaris pada perusahaan BUMN sebagaimana dalil Pemohon, telah ternyata sejalan dengan norma Pasal 33 huruf b Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (UU 19/2003). Sekalipun norma Pasal 33 UU 19/2003 telah dihapus dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2025 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (UU 1/2025), tanpa Mahkamah bermaksud menilai konstitusionalitas (formil dan materiil) UU 1/2025, telah ternyata substansi dimaksud tetap diakomodir atau dipertahankan bahwa anggota komisaris dilarang memangku jabatan rangkap sebagai, “b. jabatan lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.
Dalam batas penalaran yang wajar, Enny melanjutkan, peraturan perundang-undangan dimaksud salah satunya adalah UU 39/2008. Oleh karena itu, penting bagi Mahkamah menegaskan dalam amar Putusan a quo mengenai larangan rangkap jabatan bagi wakil menteri termasuk sebagai komisaris, sebagaimana halnya menteri agar fokus pada penanganan urusan kementerian. Sementara itu, untuk menjalankan jabatan sebagai komisaris pun memerlukan konsentrasi waktu, dalam kaitan ini tanpa Mahkamah bermaksud menilai legalitas Peraturan Menteri Badan Usaha Milik Negara Republik Indonesia Nomor PER-3/MBU/03/2023 tentang Organ dan Sumber Daya Manusia Badan Usaha Milik Negara, yang menentukan syarat seseorang untuk diangkat sebagai anggota Dewan Komisaris/Dewan Pengawas BUMN atau anggota Dewan Komisaris Anak Perusahaan di antaranya “dapat menyediakan waktu yang cukup untuk melaksanakan tugasnya”. Terlebih, pengaturan larangan rangkap jabatan karena berkaitan pula dengan prinsip penyelenggaraan negara yang bersih, bebas dari konflik kepentingan, serta pelaksanaan tata kelola pemerintahan yang baik.
Tenggang Waktu
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, untuk menghindari kekosongan hukum maupun ketidakpastian dalam implementasi norma Pasal 23 UU 39/2008 a quo yang telah dimaknai Mahkamah, in casu terhadap frasa “wakil menteri”, Mahkamah memandang perlu memberikan tenggang waktu (grace period) bagi pemerintah untuk melakukan penyesuaian terhadap ketentuan larangan rangkap jabatan wakil menteri tersebut.
Oleh karena itu, Mahkamah mempertimbangkan diperlukan masa penyesuaian dimaksud paling lama 2 (dua) tahun sejak putusan a quo diucapkan. Dengan demikian, tersedia waktu yang cukup dan memadai bagi pemerintah untuk melakukan penggantian jabatan yang dirangkap tersebut oleh orang yang memiliki keahlian dan profesionalitas dalam mengelola perusahaan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Berdasarkan pertimbangan hukum sebagaimana tersebut, dalil Pemohon adalah beralasan menurut hukum.
Berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum tersebut di atas dan sebagaimana pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 80/PUU-XVII/2019 telah ternyata norma Pasal 23 UU 39/2008, bertentangan secara bersyarat dengan prinsip negara hukum dan asas setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum sesuai dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, sebagaimana yang didalilkan oleh Pemohon. Namun oleh karena terhadap Pemohon II tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo. Dengan demikian, permohonan Pemohon adalah beralasan menurut hukum untuk sebagian.