Berita Permata.Com||Pekanbaru, Seorang ibu rumah tangga berinisial F meluapkan kekecewaannya terhadap lambannya penanganan kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang ia laporkan ke Polresta Pekanbaru.
F mengungkapkan, laporan resmi telah dibuat sejak 5 September 2024 usai dirinya mengalami kekerasan fisik dari sang suami berinisial M. Ia bahkan telah menyerahkan bukti berupa hasil visum dan keterangan saksi. Namun, hingga kini, kasus yang menimpanya tak kunjung mendapat kepastian hukum.
“Saya sudah serahkan semua bukti, tapi sampai sekarang belum ada kabar apa-apa. Saya butuh keadilan dan perlindungan, bukan dibiarkan menunggu tanpa kepastian,” ucap F kepada wartawan, Senin (17/9/2025).
Kuasa hukum korban, Robi Mardiko SH, menilai lambatnya penanganan aparat justru memperparah kondisi psikologis korban. Ia menegaskan, KDRT bukan perkara sepele yang bisa diabaikan.
“Polisi harus sigap, apalagi bukti visum sudah ada. Korban berhak dilindungi oleh negara. Kasus ini juga akan kami bawa ke lembaga perempuan agar mendapat perhatian lebih serius,” tegas Robi.
Robi menambahkan, pihaknya sempat menerima keterangan mengejutkan dari terlapor M, yang pernah berkata kepada korban: “Kalau perkara ini naik, potong telinga saya.” Ucapan tersebut dinilai sangat mencederai hukum serta merendahkan kewibawaan aparat penegak hukum.
Menurut Robi, pihak kepolisian telah mengeluarkan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) tertanggal 17 Februari 2025. Namun sejak itu, tidak ada perkembangan berarti hingga korban kembali mendatangi penyidik pada 16 September 2025. Saat itulah, korban baru menerima SP2HP dari pihak kepolisian.
“Polisi berjanji akan menindaklanjuti laporan sesuai prosedur. Saat ini masih tahap pemanggilan terlapor dan pemeriksaan tambahan,” jelas Robi.
Tidak hanya itu, Robi juga menuturkan bahwa saat pertemuan dengan penyidik. mereka mengatakan
“Kami lalai” dan terlapor susah di panggil” ucapnya kepada kami Bang, terang Robi menirukan.
Kasus ini menyoroti pentingnya aparat penegak hukum bergerak cepat sesuai amanat UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT, yang menegaskan hak korban atas perlindungan, bantuan hukum, dan pemulihan. Selain itu, Perkap No. 14 Tahun 2012 juga mengatur bahwa penyidikan tindak pidana harus dilakukan secara cepat, tepat, dan profesional.
“Jadi, KDRT bukan kasus biasa. Ini tindak pidana serius yang harus jadi prioritas penanganan demi melindungi korban,” pungkas Robi.